Sepiring Singkong, Sepenuh Cinta

 


Pagi itu, udara di desa masih terasa dingin. Kabut tipis menyelimuti pepohonan, dan suara burung pipit terdengar riuh di kejauhan. Di sebuah rumah sederhana berdinding papan dan beratapkan seng tua, tinggal sepasang suami-istri, Budi dan Siti.

Pak Budi adalah seorang guru swasta di sebuah sekolah kecil. Gajinya pas-pasan, bahkan sering terlambat dibayarkan. Meski begitu, ia selalu berangkat mengajar dengan penuh semangat. Bagi Budi, mendidik anak-anak adalah panggilan hati, meski ia tahu tidak bisa berharap banyak secara materi.

Rumah mereka jauh dari kata mewah. Dinding papan sudah mulai mengelupas, lantai hanya bersemen kasar, dan kursi tua di ruang tamu diganjal dengan batu bata agar tidak roboh. Namun, siapa pun yang singgah akan merasakan suasana hangat. Ada cinta yang begitu tulus tumbuh di sana.

 “Pak, sarapan dulu. Saya goreng singkong buat Bapak,” kata Siti pagi itu sambil menaruh sepiring singkong goreng di atas meja kayu kecil yang warnanya sudah pudar.

Budi menatap piring itu dengan mata teduh. Ia tersenyum kecil. “Lagi-lagi singkong ya, Bu?” tanyanya pelan.

Siti tersenyum, meski matanya menyiratkan sedikit cemas. “Iya, Pak. Beras tinggal sedikit. Saya pikir, biarlah beras buat nanti malam. Lagipula singkong ini baru dikasih tetangga kemarin.”

Budi mengangguk, lalu duduk perlahan. Ia mengambil sepotong singkong dan menggigitnya. Renyah di luar, lembut di dalam. Rasa sederhananya seakan bercampur dengan doa yang terselip dalam tangan istrinya.

“Bu, kamu nggak bosan makan singkong terus?” tanya Budi sambil menatap istrinya.

Siti menunduk, tersenyum. “Kalau bareng Bapak, saya nggak pernah bosan. Lagipula, yang penting kita masih bisa makan. Alhamdulillah, Pak.”

Budi terdiam. Hatinya bergetar. Ia tahu, di balik kata-kata sederhana itu, ada perjuangan dan doa yang tidak pernah berhenti.

Setiap kali Siti mengupas singkong, ia berdoa dalam hati. “Ya Allah, beri kekuatan pada suamiku. Lapangkan rezekinya, sehatkan tubuhnya, dan ridhoilah rumah tangga kami.”

Ia teringat pesan ibunya dulu: “Nak, melayani suami dengan tulus adalah ibadah. Di situlah letak surga seorang istri.” Itulah yang membuat Siti tak pernah mengeluh meski hanya bisa menyajikan makanan sederhana.

Malam hari, saat lampu minyak menyala redup karena listrik diputus sementara akibat tunggakan, Budi menatap istrinya. “Bu, apa kamu nggak capek? Dari pagi ngurus rumah, terus harus mikirin saya juga.”

Siti tersenyum lembut. “Capek, Pak. Tapi saya bahagia. Melayani Bapak itu jalan saya menuju ridha Allah.”

Budi tercekat. Matanya berkaca-kaca. Ia merasa kecil di hadapan ketulusan istrinya.

Suatu siang, setelah selesai mengajar, Budi diajak rekan-rekan gurunya mampir ke warung makan. Mereka makan ayam goreng, tempe mendoan, sambil tertawa riang. Bau harum bumbu ayam itu menusuk hidung Budi.

Temannya menepuk pundaknya. “Pak Budi, ayo pesan juga. Sesekali makan enak, lah. Jangan singkong terus.”

Budi tersenyum kecut. Ia hanya memesan segelas teh tawar. Dalam hatinya, ada rasa iri. “Andai aku bisa mengajak istriku makan seperti ini…” pikirnya.

Namun, setiba di rumah, semua rasa iri itu runtuh. Di meja sederhana, sudah tersaji sepiring singkong goreng hangat. Wajah Siti menyambutnya dengan senyum tulus.

“Pak, singkongnya baru saya angkat dari wajan. Biar Bapak hangat perutnya setelah mengajar.”

Budi menatap piring itu lama sekali. Hatinya bergetar. Tadi ia sempat iri melihat teman-temannya makan enak. Tapi kini, melihat senyum Siti, ia sadar. Singkong ini mungkin sederhana, tapi penuh cinta.

“Bu…,” suara Budi parau, “singkong buatanmu ini jauh lebih enak dari ayam goreng mana pun. Karena ada doa dan cinta kamu di dalamnya.”

Air mata Siti menetes. “Saya hanya bisa kasih ini, Pak. Maaf kalau nggak bisa lebih.”

Budi menggenggam tangan istrinya erat-erat. “Jangan bilang begitu. Kamu sudah kasih saya segalanya.”

Beberapa bulan kemudian, tubuh Budi mulai sering lelah. Suaranya parau ketika mengajar, kakinya gemetar saat berjalan. Malam itu, ia pulang dengan wajah pucat.

“Pak, kenapa? Wajah Bapak pucat sekali,” Siti panik.

Budi tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma capek.”

Siti tahu, suaminya sedang menahan sakit. Ia ingin membawa Budi ke dokter, tapi mereka tak punya cukup uang. Akhirnya, ia hanya duduk di sampingnya, mengelus punggungnya, sambil berdoa lirih.

“Ya Allah, jangan ambil suami hamba. Hamba rela makan singkong setiap hari, asal hamba bisa terus bersama dia.”

Malam itu, Siti tidak tidur. Ia berjaga di samping ranjang, menatap wajah suaminya, sesekali menyeka keringat di dahinya.

Keesokan paginya, meski tubuhnya lemah, Budi tetap ingin mengajar. Siti memaksanya makan dulu.

“Pak, makanlah. Saya goreng singkong lebih gurih pagi ini. Biar ada tenaga.”

Budi menatap piring itu dengan mata berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan istrinya.

“Bu, kamu tahu nggak? Setiap kali saya makan singkong buatanmu, rasanya seperti makan makanan paling mahal di dunia. Karena saya tahu, kamu masaknya pakai cinta dan doa.”

Air mata Siti jatuh. “Saya cuma ingin Bapak sehat. Itu saja.”

Budi menarik napas dalam, lalu berbisik lirih, “Bu, saya mungkin nggak bisa kasih kamu rumah mewah, perhiasan, atau makanan enak. Tapi saya janji, selama saya hidup, saya akan terus mencintai kamu.”

Hari-hari berjalan dengan ritme yang sama. Singkong tetap menjadi makanan utama di rumah itu. Kadang Budi masih merasa iri pada orang lain—para guru yang lebih beruntung, tetangga yang bisa menyajikan lauk-pauk beraneka rupa, atau orang-orang di warung makan yang bisa memilih apa saja sesuai selera. Namun setiap kali ia pulang dan melihat senyum Siti, yang menyambutnya dengan sepiring singkong hangat di meja kayu sederhana, hatinya kembali tenang.

Sore itu, setelah selesai makan, Budi duduk lebih lama dari biasanya. Ia menatap wajah istrinya dengan pandangan yang penuh arti. Matanya berkaca-kaca, hatinya sesak oleh rasa syukur. Dalam hati, ia berdoa lirih, seakan tak ingin Siti mendengar, tapi berharap Allah mendengarnya dengan jelas:

“Ya Allah, terima kasih atas anugerah-Mu. Engkau titipkan kepadaku seorang istri yang tulus, sabar, dan penuh cinta. Ridhoilah rumah tangga kami. Jagalah wanita ini, yang setiap hari berdoa untukku, yang menguatkanku dengan kesederhanaannya. Meski hidup kami hanya dihiasi dengan sepiring singkong, jadikanlah rumah kecil ini penuh dengan berkah-Mu.”

Tangannya meraih tangan Siti, menggenggamnya erat. Siti menoleh, tersenyum hangat, meski matanya menyimpan letih. Senyum itu sederhana, tapi bagi Budi senyum itu lebih indah daripada segala perhiasan dunia.

Di meja kecil itu, hanya ada sepiring singkong goreng yang mulai dingin. Namun singkong itu seakan menjadi saksi bisu betapa kuatnya cinta dan doa yang mengikat mereka.

Budi menghela napas panjang. “Bu, kita mungkin nggak punya apa-apa di mata orang. Tapi di mata saya, kamu adalah harta yang paling berharga. Rumah ini… singkong ini… dan senyum kamu… cukup buat saya merasa jadi orang paling kaya di dunia.”

Air mata menetes di pipi Siti. Ia menunduk, lalu berbisik lirih, “Pak, selama kita bersama, saya pun merasa cukup. Kebahagiaan saya bukan dari apa yang kita makan, tapi dari siapa saya makan bersama.”

Dan di hati Budi, mekar sebuah rasa cinta dan syukur yang tak pernah habis. Karena kebahagiaan sejati memang tidak terletak pada mewahnya makanan, melainkan pada cinta, doa, dan ketulusan hati yang Allah satukan di rumah kecil itu.


Kebayoran Lama, 5 September 2025

 

 

Komentar