Ustadzah Suratinah - Pelita yang Tak Pernah Padam

 


 

Masa kecil saya penuh dengan cerita-cerita sederhana yang membentuk siapa saya hari ini. Salah satu kenangan yang tak pernah lekang dari ingatan adalah saat belajar membaca Al-Qur’an di bawah bimbingan Ustadzah Suratinah. Beliau bukan hanya seorang guru, melainkan juga bibi saya, adik dari Ayah. Meski hubungan kami terjalin lewat darah, apa yang beliau berikan lebih dari sekadar tanggung jawab keluarga. Itu adalah bentuk kasih sayang dan dedikasi yang tulus.

Saya tumbuh di sebuah kampung kecil yang kehidupannya sederhana. Setiap minggu, dua kali dalam sepekan, saya dan teman-teman seusia berkumpul di masjid kampung. Masjid itu sederhana, dengan dinding yang sangat tebal, tikar plastik yang sudah mulai lusuh, dan bangku panjang yang selalu menemani  belajar kami. Namun, bagi kami, masjid itu adalah pusat ilmu. Di sanalah kami belajar bersama Ustadzah Suratinah, wanita dengan senyum lembut yang tak pernah absen mengajarkan kami huruf demi huruf hijaiyah hingga mampu melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Ustadzah Suratinah adalah pribadi yang sangat sederhana. Beliau tidak memiliki gelar besar atau pendidikan formal di bidang agama, namun kecintaannya pada Al-Qur’an menjadikannya guru terbaik bagi kami. Setiap kali datang ke masjid, beliau selalu mengenakan mukena putih bersih dan membawa Al-Qur’an serta buku kecil berisi catatan pelajaran dan buku catatan tabungan.

“Ayo, anak-anak, buka Iqra’ kalian. Kita mulai dari halaman yang kemarin,” kata beliau dengan suara lembut tapi tegas. Kami pun bergegas membuka buku masing-masing, sebelum satu persatu dari kami maju untuk membaca di bawah arahan beliau.

Beliau tidak pernah menunjukkan wajah lelah. Tidak pernah pula meminta bayaran atas waktu dan ilmu yang beliau berikan. Padahal, mengajar kami tentu membutuhkan kesabaran luar biasa. Anak-anak seusia kami, dengan energi melimpah, sering kali lebih tertarik bermain ketimbang belajar. Namun, Ustadzah Suratinah selalu berhasil menarik perhatian kami kembali dengan cara-cara yang menyenangkan.

Saya masih ingat bagaimana proses belajar itu berjalan. Di awal, saya merasa sulit mengenali huruf-huruf hijaiyah. Mulut kecil saya terbata-bata melafalkan “a”, “i”, dan “u”, apalagi saat harus menyambungkannya menjadi kata. Tapi, Ustadzah Suratinah tidak pernah marah. “Pelan-pelan saja, yang penting terus belajar,” katanya.

Ketika tiba giliran saya membaca, beliau duduk di sebelah saya, jari telunjuknya menunjuk huruf demi huruf. Jika saya salah, beliau segera membimbing dengan sabar. Beliau selalu memberikan pujian sederhana seperti, “Bagus, teruskan,” setiap kali saya berhasil membaca dengan benar. Pujian itu menjadi motivasi tersendiri, membuat saya ingin belajar lebih giat.

Selain membaca, beliau juga mengajarkan kami tajwid, bagaimana melafalkan huruf dengan benar sesuai hukum-hukum yang berlaku. Awalnya, itu terasa rumit. Namun, cara beliau menjelaskan sangat mudah dipahami. Misalnya, beliau pernah menggunakan perumpamaan lucu untuk membantu kami mengingat panjang pendek bacaan mad.

“Kalau ketemu tanda ini, suaranya seperti orang yang habis minum teh panas,” katanya sambil berpura-pura meniupkan udara dari mulut. Kami semua tertawa, tapi trik itu berhasil! Hingga sekarang, setiap kali membaca mad panjang, saya selalu teringat beliau.

Belajar bersama Ustadzah Suratinah bukan hanya tentang membaca Al-Qur’an. Ada nilai-nilai lain yang secara tidak langsung beliau tanamkan kepada kami. Beliau selalu mengingatkan pentingnya keikhlasan, kebaikan, dan saling membantu.

“Ilmu yang bermanfaat itu adalah yang diamalkan,” sering beliau ucapkan.

Kalimat itu sederhana, tapi maknanya mendalam. Di usia muda, kami mungkin belum sepenuhnya memahami maksudnya. Namun, seiring waktu, saya menyadari bahwa ajaran beliau menjadi salah satu fondasi penting dalam hidup saya.

Waktu berlalu. Anak-anak yang dulu belajar bersama Ustadzah Suratinah kini telah dewasa. Sebagian besar dari kami sudah merantau, menjalani kehidupan di tempat yang jauh dari kampung halaman. Namun, satu hal yang tidak pernah berubah adalah kenangan indah tentang bimbingan beliau. Apa yang beliau ajarkan tidak hanya membantu kami membaca Al-Qur’an, tetapi juga menanamkan cinta pada kitab suci itu.

Saat ini, saya tinggal di tanah rantau, jauh dari masjid tempat kami dulu belajar. Namun, setiap kali membuka Al-Qur’an, bayangan Ustadzah Suratinah selalu hadir. Saya membayangkan beliau, dengan keikhlasan dan kesabaran luar biasa, membimbing saya membaca ayat demi ayat.

Kadang-kadang, saya bertanya-tanya, bagaimana menciptakan keikhlasn seperti beliau waktu itu? Saya hanya bisa berharap dan berdoa semoga beliau selalu dalam lindungan Allah. Saya juga berdoa agar semua ilmu yang beliau ajarkan kepada kami menjadi amal jariyah yang tak pernah putus, menjadi pelita yang terus menerangi jalan beliau di dunia dan akhirat.

Ustadzah Suratinah telah mengajarkan kepada saya bahwa ilmu adalah anugerah yang harus dibagikan dengan tulus. Beliau menunjukkan bahwa mengajar bukan hanya tentang menyampaikan pengetahuan, tetapi juga tentang menciptakan dampak positif yang akan dikenang sepanjang masa.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ustadzah Suratinah. Terima kasih atas waktu, tenaga, dan kesabaran yang telah beliau curahkan untuk kami. Semoga Allah membalas semua kebaikan beliau dengan pahala yang berlipat ganda. Dan bagi siapa pun yang membaca cerita ini, saya berharap kisah tentang Ustadzah Suratinah bisa menjadi inspirasi untuk berbagi ilmu dengan ikhlas, seperti yang telah beliau lakukan. Aamiin.

Kebayoran Lama, 18 Desember 2024

 

Komentar