Di sebuah desa kecil yang sejuk dan asri, hidup seorang pemuda bernama Darusman. Ia dilahirkan dalam keluarga sederhana yang memegang teguh nilai-nilai agama. Masa kecilnya ia habiskan di tengah Tengah kekuarga yang damai. Di antara suara gemericik sungai dan hembusan angin yang menyejukkan Darusman selalu mencuri waktu untuk memancing ikan di kali sampign sebuah pesantren di kampung. Di desa itu pula, ia menempuh pendidikan hingga lulus dari Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Namun, di balik senyum lembut dan tutur katanya, Darusman menyimpan tekad besar. Setelah lulus MTs, ia memilih jalan yang tak banyak dipilih oleh pemuda di desanya: merantau ke kota besar untuk menimba ilmu agama di sebuah pesantren ternama. Bukan karena ingin pamer atau meninggalkan kampung halaman, melainkan karena cita-citanya yang tulus—menjadi orang yang bermanfaat lewat ilmu agama.
Dengan berat hati, ia meninggalkan keluarganya. Tangis ibunya pecah ketika melepas Darusman di depan rumah, sementara ayahnya hanya bisa diam, menyembunyikan haru di balik senyumnya yang tipis. Aadiknya hanya mampu melambaikan tangan kecil mereka. Darusman memeluk mereka satu per satu, lalu melangkah pergi, membawa harapan besar di pundaknya.
Hari-hari pertama di pesantren tak semudah yang ia bayangkan. Tidak ada lagi ibu yang membangunkan sahur, tidak ada lagi adik yang yang suka diajaknya berantem. Di pesantren, semuanya harus dilakukan sendiri. Dari bangun tidur, mencuci pakaian, merapikan tempat tidur, hingga mengatur jadwal belajar dan ibadah. Ia harus belajar mandiri, menghadapi segala tantangan sendiri.
Namun ia sadar, inilah proses. Proses menjadi pribadi yang tangguh. Proses memahami bahwa hidup bukan hanya tentang kenyamanan, tapi tentang perjuangan.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Suatu pagi, di tengah kegiatan pesantren, Darusman dipanggil oleh ustadznya. Dengan wajah penuh empati, sang ustadz menyampaikan kabar duka—kakak perempuannya telah berpulang ke rahmatullah.
Darusman terdiam. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Tangannya gemetar, air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia bergegas pulang ke kampung halaman, menumpang bus yang berjalan lambat seolah tak peduli pada kesedihan hatinya.
Namun takdir berkata lain. Saat ia tiba di rumah, suasana sudah sepi. Tangisan sudah reda, tanah makam telah mengering. Ia hanya bisa menatap nisan yang bertuliskan nama kakaknya. Ia tak sempat melihat wajah sang kakak untuk terakhir kalinya. Ia tak sempat mencium keningnya. Bahkan jenazahnya pun tak sempat ia temui.
"Kenapa tidak menunggu?" lirihnya pada sang ibu yang matanya sembab.
Sang ibu hanya menunduk. "Tidak mungkin, Nak... Jenazah tidak boleh ditunda."
Darusman kembali ke pesantren dengan hati yang hampa. Luka di hatinya belum sembuh, tapi ia tahu, jalan hidup yang ia pilih memang penuh dengan ujian. Ia terus belajar, terus menghafal, terus menguatkan diri di tengah rindu yang menggunung.
Waktu terus berlalu. Namun seperti takdir ingin mengujinya lagi, beberapa tahun kemudian, kabar duka kembali datang. Kakak laki-lakinya, yang sejak kecil mengidap penyakit serupa dengan almarhumah kakaknya, menghembuskan napas terakhir. Dan lagi-lagi, Darusman terlambat. Ia bahkan tak sempat melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.
Tangisnya pecah di dalam bus saat pulang kampung. Kepalanya menunduk, pundaknya bergetar. Ia merasa begitu jauh, begitu tak berdaya. Rasa bersalah menyelimutinya, seolah ia adalah anak yang lupa keluarga.
Namun hidup harus terus berjalan. Ia kembali ke kota, menyelesaikan pendidikannya dengan tekad yang semakin kuat. Ia berhasil meraih gelar Sarjana (S1), lalu melanjutkan ke jenjang Magister (S2). Di balik keberhasilannya itu, ada banyak tangis yang tersembunyi, ada banyak rindu yang dipendam, dan ada banyak duka yang belum terobati.
Ia sering termenung di malam hari, memandangi foto kedua orang tuanya. "Maafkan Darusman... karena tak bisa menemani kalian di masa tua... karena tak bisa mengobati saat ayahnya sakit... karena tak bisa hadir saat kalian membutuhkan..."
Kadang, kabar sakit ayah atau ibu baru sampai ke telinganya setelah beberapa hari. Bahkan untuk sekadar menelpon pun, sinyal dan waktu tak selalu memihak.
Kini, Darusman telah dewasa. Ia bekerja, mengabdi, dan mengajar. Tapi di sudut hatinya, selalu ada ruang yang tak pernah kosong: ruang rindu, ruang sesal, ruang doa.
Ia tahu, menjadi anak rantau adalah pilihan. Tapi pilihan itu bukan tanpa harga. Harga yang harus dibayar sangat mahal: kehilangan waktu bersama keluarga, kehilangan momen penting dalam hidup orang yang dicintainya, kehilangan kesempatan terakhir untuk melihat wajah orang terkasih.
Namun, Darusman tak menyesal. Ia hanya berharap, semua pengorbanan dan rasa sakit itu bisa menjadi pahala di sisi Allah. Bahwa setiap tetes air mata yang jatuh, setiap langkah kaki yang jauh dari rumah, dan setiap malam yang ia lalui dengan kesepian, semoga semua itu dicatat sebagai amal.
Kisah Darusman adalah kisah banyak perantau di luar sana. Mereka yang meninggalkan kampung halaman demi cita-cita. Mereka yang harus merelakan pelukan terakhir, hanya demi mimpi yang tak ingin mati.
Bagi Darusman, hidup adalah perjalanan panjang. Perjalanan menuju ridha Allah, meski harus melewati jalan yang sunyi, meski harus menahan perih karena tak bisa menemani Ayah saat sakit, atau melihat ayah tersenyum untuk terakhir kalinya.
Inilah nasib anak rantau. Mereka kuat di luar, tapi rapuh di dalam. Mereka tertawa bersama teman, tapi menangis saat sendiri. Mereka terlihat tegar, padahal hatinya luka. Namun satu yang mereka miliki: keyakinan bahwa Allah melihat semua perjuangan itu.
Dan bagi Darusman, itu cukup. Karena ia percaya, di balik semua kesedihan, ada pelukan surga yang menanti.
"Ya Allah, bahagiakanlah orang tua kami... ampuni dosa-dosa mereka... tempatkan mereka Nanti di surga-Mu... dan izinkan kami menjadi anak yang bisa membanggakan mereka, meski kami seringkali jauh dan tak sempat merawat mereka sebagaimana yang seharusnya..."
Komentar
Posting Komentar