Ayah ...


Hujan turun pelan di atas atap rumah tua di desa kecil itu. Aroma tanah basah menyatu dengan bau kopi hitam yang mengepul dari cangkir lusuh di tangan Pak Bisri. Lelaki paruh baya itu duduk di beranda, memandang kosong ke arah halaman rumah yang becek. Ia baru saja pulang dari sekolah, tempat ia mengabdi sebagai guru selama lebih dari dua puluh tahun.

Gajinya sebagai Pegawai Negeri Sipil tak pernah cukup untuk menyenangkan dunia. Namun cukup untuk menunda kelaparan dan menyekolahkan anak-anaknya, meski dengan segala keterbatasan. Ia tahu betul, hidupnya bukan untuk bermewah-mewah. Hidupnya adalah perjuangan, dan perjuangan itu bernama keluarga.

Ia tinggal bersama istrinya, Bu Djum, dan lima orang anak. Namun dua dari mereka, Ahmad dan Sri, mengidap penyakit diabetes sejak usia dini. Tiap bulan harus ke dokter, tiap minggu cek kadar gula, dan hampir tiap tahun harus masuk rumah sakit karena komplikasi.

“Ayah nggak usah ngajar hari ini,” ujar Bu Djum suatu pagi, ketika melihat Suaminya tersedak batuk parah.

“Kalau Ayah nggak ngajar, siapa yang bayarin obat Ahmad dan Sri?” jawabnya sembari menyesap teh manis. Satu kalimat sederhana, tapi cukup menampar kenyataan.

Meski tubuhnya mulai menua, langkah Bisri tak pernah goyah. Setiap pagi ia berangkat naik sepeda motor tuanya, menempuh belasan kilometer untuk mengajar anak-anak desa yang bahkan kadang datang ke sekolah tanpa alas kaki.

Beberapa tahun kemudian, ketika Sri menginjak usia 18, kondisinya semakin memburuk. Pak Bisri harus bolak-balik ke rumah sakit, menunggui anak gadisnya yang terbaring pucat.

“Yah, Sri capek…” ucap gadis itu suatu malam.

“Sri istirahat, ya. Biar Ayah yang jagain semuanya.”

Tapi Allah berkehendak lain. Malam itu, Sri pergi dalam pelukan ayahnya, meninggalkan luka yang dalam. Pak Bisri menangis diam-diam, karena ia tahu, ia adalah tumpuan. Tak boleh rapuh. Tak boleh jatuh. Di hadapan istri dan anak-anak lainnya, ia harus jadi karang.

Setahun berlalu, Ahmad semakin sering kambuh. Usianya sudah menginjak 24 tahun, tapi tubuhnya pendek, kurus dan lemah. Pak Bisri mulai menjual barang seperti motor, pokhon di pekarangan rumah bahkan tanah pekarangan di rumah demi biaya pengobatan. Bahkan satu-satunya motor tua yang biasa ia gunakan ke sekolah pun ikut dijual dan bernagkat sekolah menggunakan sepeda.

Namun sama seperti Sri, Ahmad pun akhirnya menyerah.

“Yah… nanti kalau Ahmad udah nggak ada, Ayah jangan sedih ya. Ahmad mau ketemu Sri.”

Kata-kata itu menjadi pesan terakhirnya. Malam itu, Pak Bisri kembali kehilangan. Dua anak yang ia cintai, dua bagian hatinya, telah lebih dulu pulang.

Kini tersisa tiga anak: Nanan, anak lelaki yang sudah menamatkan sekolah, Nur Anak terakhir atau bontot serta Didi yang saat ini sedang sekolah di  pesantren di kota Jakarta yang hanya bisa pulang saat libur. Mereka tumbuh dalam rumah yang tak lagi ramai, tapi penuh semangat untuk tetap berjuang.

Pak Bisri tak pernah lelah. Ia tetap mengajar, tetap menyimpan semua sedihnya di balik senyum sabarnya. Ia yakin, perjuangan tak akan sia-sia.

Didi lulus dari sekolah dan melanjutkan kuliah di Jakarta lewat beasiswa. Ia jarang pulang, tapi setiap kali berbicara dengan ayahnya lewat telepon, ia selalu berkata:

“Yah, tunggu ya… Suatu hari Didi bakal banggakan Ayah.”

Dan hari itu benar-benar datang. Didi dipercaya menjadi seorang direktur tempat Didi

Sementara Nur memilih untuk tetap di kampung halaman. Di sana ia membuka usaha kecil, berkembang menjadi besar. Kini ia memiliki beberapa karyawan dan bahkan mampu membantu biaya sekolah ponakan dan saudara-saudaranya.

Sementara Anak tertua, Nanan, melanjutkan profesi Sang Ayah sebegai abdi ngera penerus Oemar Bakri. Ia menikah dengan seorang wanita yang berasal dari luar daerahnya.

Hidup Pak Bisri perlahan membaik. Tak ada lagi rumah sakit yang harus dikunjungi dengan wajah penuh cemas. Tak ada lagi obat yang harus ditebus dengan meminjam uang. Kini ia hanya tinggal menikmati masa tua.

Suatu sore, Pak Bisri duduk di teras rumah. Kali ini dengan senyum tenang. Ia memandang ke langit, mengingat Sri dan Ahmad.

“Dua anak Ayah udah tenang di sana. Tiga lainnya sudah jadi orang. Tugas Ayah sudah selesai…” bisiknya pelan.

Malam itu, Bisri tidur lebih awal dari biasanya. Dan ketika pagi datang, tubuhnya tetap terbaring. Tenang. Tanpa keluh. Allah telah memanggilnya pulang.

Tangis keluarga pecah. Nanan, Didi, dan Nur berkumpul di rumah kecil itu. Mereka tak menyangka, sosok kuat yang selalu menjadi penopang kini telah tiada. Tapi mereka tahu, Ayah mereka telah berjuang hingga akhir.

Kini, setiap kali mereka sukses, setiap kali ada kebahagiaan, mereka selalu berkata,

“Ayah… Ini untukmu. Semoga surga tempatmu saat ini. Aamiin.”

 

Komentar