Cahaya di Balik Perihnya Mata
Pak Didi duduk di beranda rumahnya yang sederhana, menatap langit senja yang mulai menguning. Angin sore berhembus pelan, menyapa kulit wajahnya yang terlihat capek. Di usianya yang menginjak emoat puluh lima tahun, ia tampak bugar dan aktif mengurus pekerjaannya di depan layer monitor. Namun sejak empat hari terakhir, ada satu hal yang mulai mengusik ketenangannya: matanya.
Awalnya hanya rasa gatal kecil di mata kanan, seperti ada debu halus yang tak kunjung hilang. Ia kira hanya gangguan sepele, barangkali akibat terlalu lama menatap layer computer yang setiap hari menjadi teman di kantor maupun di rumahnya. Tapi keesokan harinya, rasa gatal itu semakin menjadi. Tak jarang ia tergoda untuk mengucek matanya, merasa lega sejenak meski tahu itu bukan tindakan bijak.
"Kalau terus dikucek, bisa makin parah," pikirnya. Ia pernah mendengar dari seorang ustadz di tempat ia bekerja bahwa mata adalah salah satu nikmat yang sangat berharga, dan karenanya harus dijaga baik-baik. Maka ia menahan diri, memilih bersabar sambil berharap rasa gatal itu segera reda dengan sendirinya.
Namun harapan itu tidak kunjung terkabul. Di hari keempat, rasa gatal disertai sedikit perih. Ia mulai merasa tak nyaman setiap kali berkedip. Di depan cermin, ia mengamati matanya dengan seksama. Tampak sedikit merah, dan di bagian bawah kelopak mata, muncul benjolan kecil. Tidak terlalu besar, tapi cukup mengganggu.
“Ah, sebaiknya aku pergi ke apotek,” gumamnya.
Dengan langkah perlahan, ia mengenakan sandal dan jaket lusuhnya. Ia mengendarai motor menuju apotek yang jaraknya hanya sekitar lima ratus meter dari tempat kerjanya. Meski tidak suka bepergian saat sakit, ia tahu ini bukan hal yang bisa dibiarkan.
Setibanya di apotek, ia disambut oleh seorang apoteker muda yang ramah. Setelah menyampaikan keluhannya, sang apoteker memeriksa mata Pak Didi dengan senter kecil.
"Mata Bapak tampak sedikit merah, dan di bagian bawah ini ada benjolan kecil. Kemungkinan karena iritasi ringan atau mata kotor. Bapak bisa coba pakai obat tetes mata ringan dulu, dan jangan terlalu sering mengucek. Nanti justru memperparah," jelas apoteker itu sambil menyerahkan obat.
Pak Didi mengangguk, mengucap terima kasih dengan sopan. Ia Kembali ke tempat kerja dengan harapan baru, semoga tetesan obat itu membawa kesembuhan.
Namun, kenyataan berkata lain. Esoknya, meski telah menggunakan obat tetes sesuai anjuran, rasa gatal itu belum juga pergi. Bahkan benjolan itu terasa semakin besar dan menekan kelopak mata. Saat berkedip, ia merasa seperti ada kerikil kecil yang tersembunyi di balik kelopak. Rasanya tidak nyaman, meskipun jika dilihat sekilas, matanya tampak baik-baik saja.
Alih-alih mengeluh, Pak Didi memilih diam. Di balik rasa sakit itu, ia mencoba merenung. Mungkin ini bukan sekadar gangguan fisik. Mungkin, ini teguran dari Allah.
"Mata ini... mungkin pernah aku gunakan untuk melihat sesuatu yang tidak pantas. Sesuatu yang tidak Allah ridhoi. Barangkali ini cara Allah membersihkannya," batinnya.
Dalam sujud malamnya, Pak Didi tak lagi meminta kesembuhan semata. Ia justru lebih banyak menangis, memohon ampun, memohon agar mata yang kini sakit bisa kembali menjadi jendela kebaikan. Ia ingat hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Sesungguhnya seorang hamba jika terkena musibah, maka akan dihapus dosanya sebagaimana daun yang gugur dari pohon." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hari-hari pun berlalu. Rasa sakit itu masih ada, tapi kini terasa lebih ringan. Mungkin bukan karena benjolannya mengecil, tapi karena hatinya mulai menerima. Ia kini lebih rajin membersihkan matanya dengan air bersih dan meneteskan obat. Setiap kali menatap cermin, ia tidak hanya melihat mata yang bengkak, tapi juga melihat refleksi dari jiwa yang sedang ditempa.
Beberapa orang di kantor bertanya, "Pak Didi, kenapa sering kelihatan pegang mata? Sakit ya?"
Ia hanya tersenyum. "Sedikit, Bu. Mungkin sedang diingatkan agar menjaga pandangan."
Jawaban itu membuat beberapa orang tertegun. Tidak banyak orang yang bisa memandang sakit sebagai bentuk kasih sayang Allah. Tapi Pak Didi meyakini, tak ada sakit yang sia-sia. Bahkan rasa gatal dan benjolan kecil di mata pun bisa menjadi jalan taubat.
Satu minggu kemudian, benjolan itu mulai mengecil. Rasa gatal perlahan menghilang. Ia kembali bisa membaca dengan nyaman, kembali bisa memandangi wajah istrinya dengan tenang, dan menatap layer monitor tanpa rasa perih.
Namun, pengalaman itu tak membuatnya lupa. Kini, setiap kali melihat sesuatu, ia selalu bertanya pada hatinya: Apakah ini pantas aku lihat? Apakah ini bisa membuat Allah ridha?
Mata yang dulunya sering digunakan untuk melihat dunia, kini digunakan untuk melihat akhirat.
Pak Didi menyadari bahwa hidup adalah rangkaian ujian. Terkadang, ujian itu datang dalam bentuk kecil, seperti gatal di mata. Tapi justru dari ujian kecil itu, Allah mengajarkan hikmah yang besar. Bahwa sakit bukan untuk disesali, melainkan untuk direnungi.
Dan di ujung senja yang lain, saat langit
kembali menguning, Pak Didi tersenyum. Matanya masih belum sempurna pulih, tapi
jiwanya telah jauh lebih tenang. Ia tahu, sakit itu adalah cara Allah
mengajaknya kembali. Kembali melihat dengan hati, bukan hanya dengan mata.
Jakarta, 24 April 2024
Komentar
Posting Komentar