Mamak


      Aku lahir dari seorang perempuan tangguh, perempuan kuat yang kusebut dengan panggilan penuh cinta: Mamak.

Aku dikandung selama sembilan bulan lebih beberapa hari. Dalam perutnya aku tumbuh, dengan segala rasa sakit yang Mamak rasakan, dengan segala perjuangan yang tak pernah aku tahu sampai aku benar-benar dewasa.

Waktu aku masih kecil, aku sering menangis. Bukan karena jatuh atau digigit serangga. Tapi karena lapar. Aku sering tidak suka dengan masakan Mamak. Kadang terlalu pedas, kadang menurutku tidak enak. Aku menangis bukan hanya sekali. Berkali-kali. Aku rewel. Aku ngambek. Dan Mamak... dia tidak pernah marah. Dia hanya diam, lalu mencoba membuat makanan lain semampunya. Sekarang, aku baru sadar... ternyata semua itu bukan karena Mamak tidak bisa masak enak. Tapi karena dia hanya bisa memasak dari apa yang ada. Apa yang mampu dia beli. Kadang hanya nasi dan sambal, kadang nasi dan garam. Tapi aku terlalu kecil untuk mengerti. Terlalu egois untuk tahu bahwa Mamak sedang berjuang untuk memberiku makan terbaik untukku.

Waktu usia SMP, aku mulai belajar di pesantren. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Tapi Mamak selalu mengantarku setiap pagi. Sering juga aku pulang lebih awal hanya untuk melihat wajahnya. Karena sekolah formalku bukan di pesantren, aku masih bisa pulang setiap hari. Tapi setiap kali pulang, aku tidak pernah benar-benar bantu Mamak. Aku hanya pulang untuk makan, untuk tidur, untuk minta uang saku. Mamak tetap masak, tetap mencuci, tetap mengurus rumah. Aku hanya jadi anak yang tak tahu diri.

Saat SMA, aku merantau. Jauh. Ke Jakarta. Di sebuah pesantren yang besar. Di sana aku benar-benar tidak bisa pulang sesering dulu. Di sana, aku mulai benar-benar merasa rindu. Tapi rindu saja tidak cukup untuk membalas segala cinta Mamak. Yang kulakukan hanya satu: merepotkannya. Minta kiriman uang, minta doanya, minta ini, minta itu. Padahal aku tahu, Mamak harus bekerja lebih keras agar bisa mengirimkanku uang. Tapi tetap saja aku minta.

Satu hal yang paling menyakitkan dan sampai sekarang masih menusuk di hatiku adalah ketika aku tahu, ternyata Mamak sakit. Tapi aku tidak pernah tahu. Mamak sengaja menyuruh abang dan adikku untuk tidak memberitahuku. Katanya, biar aku tenang belajar. Biar aku tidak sedih. Katanya, “Idhie itu anak jauh, biarlah dia belajar dengan tenang.”

Tapi aku justru merasa sangat bodoh. Karena saat Mamak kesakitan, aku di sini hanya tertawa bersama teman seasramaku. Saat Mamak terbaring lemah, aku di sini hanya sibuk mengejar cita-citaku. Padahal apa arti semua cita-cita jika Mamak tidak sehat? Apa artinya semua kesuksesan jika Mamak menderita sendirian?

Aku ingat sekali, pernah suatu hari aku kirim pesan:

“Mak, Idhie nggak punya uang buat bayar bayar buku. Bisa dikirim 50 ribu?”

Dan beberapa hari kemudian, uang itu sampai. Tapi beberapa hari setelahnya aku baru tahu, Mamak menjual ayam peliharaannya untuk kirim uang itu. Ayam satu-satunya. Yang biasanya dia pelihara dan harap bisa dijual saat lebaran.

Air mataku tidak berhenti. Bahkan saat aku tulis ini, dadaku masih sesak.

Mamak...

Sekarang aku sudah dewasa. Tapi tetap saja aku di tanah rantau. Tetap jauh dari Mamak. Kadang malam-malam aku menangis. Diam-diam. Di balik sajadah. Di kamar sempitku. Karena aku terlalu sering mengecewakan Mamak. Aku belum bisa membuatnya bahagia. Aku belum bisa membelikannya rumah. Belum bisa membelikannya baju bagus. Belum bisa mengajaknya ke tanah suci. Bahkan untuk mengelus punggungnya yang sakit pun aku tidak bisa.

Kadang aku hanya bisa menatap fotonya. Foto yang kusimpan di dompet. Lalu kutatap sambil kubisikkan doa. “Ya Allah, sehatkan mamakku... panjangkan umurnya... bahagiakan dia, meski aku belum bisa...”

Aku rindu. Rindu suara Mamak. Rindu senyumnya. Rindu tangannya yang kasar karena sering mencuci tapi terasa paling hangat saat mengelus rambutku.

Mamak, maafkan Idhie... Kalau waktu bisa kuputar, ingin rasanya aku kembali ke masa kecil. Aku ingin memelukmu lebih lama. Aku ingin makan semua masakanmu, tanpa mengeluh. Aku ingin membantu pekerjaanmu, mencuci piring, menyapu rumah, menjemur baju. Aku ingin bilang setiap hari, “Mamak, terima kasih. Mamak, aku sayang Mamak.”

Tapi waktu tak akan pernah kembali. Yang tersisa hanya penyesalan.

Kini, setiap malam aku hanya bisa menangis. Menyesali setiap sikapku yang dulu. Menyesali keegoisanku. Menyesali setiap kali aku berkata kasar hanya karena aku sedang kesal. Menyesali semua permintaan yang kudesakkan padamu, tanpa peduli kau sedang punya uang atau tidak. Tanpa peduli kau sedang sehat atau sakit.

Aku tahu, Mamak tidak pernah meminta balasan. Tidak pernah berharap imbalan. Tapi aku ingin... aku sangat ingin suatu hari nanti bisa pulang dan berkata: “Mak, Idhie sudah berhasil. Mak, sekarang istirahatlah. Biar aku yang jaga Mamak.”

Sampai hari itu tiba, doaku tidak akan pernah putus.

Ya Allah... jaga Mamakku. Panjangkan umurnya. Sehatkan tubuhnya. Lapangkan rezekinya. Angkat semua deritanya. Gantikan setiap air matanya dengan senyum. Balas semua perjuangannya dengan surga...

Aamiin.

 

Kebayoran Lama, 25 April 2025

Idi Darusman -

Komentar