Sedekah Itu “Menamparku”
Pagi itu, seperti biasa, saya bersiap untuk menjalani rutinitas harian. Hari itu, awal pekan yang seringkali terasa berat, namun tetap harus dijalani. Setelah mandi dan berpakaian rapi, saya melangkah keluar rumah, menyalakan motor Vario kesayangan, dan memulai perjalanan menuju tempat saya mengajar di sebuah lembaga pendidikan di Jakarta Selatan.
Perjalanan pagi itu tidak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jalanan Jakarta yang padat, suara klakson bersahutan, dan deretan kendaraan yang bergerak perlahan.
Setelah beberapa menit terjebak macet di portal dan pertigaan menuju jalan lebih lebar, saya kembali melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di perempatan dekat Seskoal, lampu lalu lintas menyala merah. Saya berhenti, menunggu giliran untuk melanjutkan perjalanan. Di samping saya, berhenti seorang pengemudi ojek online. Jaket hijaunya yang sudah agak pudar menunjukkan bahwa jaket itu telah lama menemaninya bekerja. Usianya mungkin sekitar 50-an, dengan rambut yang mulai memutih terlihat dari balik helmnya. Motor yang dikendarainya, motor metic, yang tampak sudah berusia lebih dari 10 tahun.
Saat saya menunggu lampu berubah menyala warna hijau, seorang panitia pembangunan masjid berjalan di antara kendaraan, membawa serokan ikan yang digunakan untuk meminta sumbangan. Tanpa ragu, bapak ojol di samping saya membuka dompetnya dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu rupiah, lalu memasukkannya ke dalam serokan tersebut.
Saya tertegun.
Dalam hati, saya bertanya-tanya: berapa penghasilan bapak itu dalam sehari? Mungkin tidak lebih dari dua ratus ribu rupiah. Namun, ia dengan ikhlas memberikan sebagian dari penghasilannya untuk sedekah. Sementara saya, dengan penghasilan yang mungkin lebih dari mereka, seringkali merasa berat untuk bersedekah.
Pemandangan itu seperti tamparan keras bagi saya. Saya merasa malu. Jika seorang bapak ojol dengan penghasilan pas-pasan bisa bersedekah dengan ikhlas, mengapa saya yang hidup lebih berkecukupan justru sering menunda-nunda untuk berbagi?
Perjalanan saya lanjutkan dengan perasaan yang campur aduk. Sepanjang jalan, pikiran saya terus memutar kejadian barusan. Saya merasa Allah sedang mengajarkan saya sesuatu melalui peristiwa itu. Bahwa sedekah tidak harus menunggu kaya. Bahwa berbagi bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa besar keikhlasan kita untuk memberi.
Sesampainya di tempat tugas, saya masih merenungkan kejadian pagi itu. Saya menyadari bahwa selama ini saya terlalu banyak pertimbangan dalam bersedekah. Saya menunggu momen yang tepat, menunggu penghasilan lebih, menunggu kebutuhan pribadi terpenuhi. Padahal, kesempatan untuk berbagi ada di depan mata setiap hari.
Saya teringat kisah-kisah inspiratif lainnya tentang orang-orang yang dengan keterbatasan mereka tetap mampu berbagi. Seperti kisah Mbah Asrori, seorang kakek berusia 92 tahun dari Semarang yang setiap hari Jumat membagikan nasi bungkus kepada tukang becak dan pemulung, meskipun penghasilannya tidak menentu. Atau kisah Nenek Sahnun, seorang pemulung berusia 60 tahun dari Mataram yang berhasil menabung selama lima tahun untuk berkurban sapi pada hari raya Idul Adha.
Kisah-kisah tersebut semakin memperkuat keyakinan saya bahwa sedekah bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi tentang seberapa besar keinginan kita untuk berbagi. Saya belajar bahwa dengan berbagi, kita tidak akan pernah kekurangan. Justru, hati kita akan terasa lebih lapang dan hidup kita akan lebih bermakna.
Bismillah, semoga kitab isa lebih tangan dalam bersedekah. Semog akita bisa memulai untuk menyisihkan sebagian penghasilan untuk disumbangkan kepada yang membutuhkan. Dan semoga kita mulai lebih peka terhadap lingkungan sekitar, mencari kesempatan untuk membantu sesama, sekecil apapun itu.
“Sedekah itu menamparku". Tamparan yang menyadarkan
saya dari kelalaian dan keegoisan. Tamparan yang membuka mata dan hati saya
untuk lebih peduli terhadap sesama. Tamparan yang mengajarkan saya bahwa
kebahagiaan sejati terletak pada kemampuan kita untuk berbagi.
Jakarta, 30 April 2025
Komentar
Posting Komentar