Cerpen 1 : Karena WhatsApp

 


Karena WhatsApp

 

Dina duduk di ujung sofa ruang tamu, bersandar pada bantal kecil, dengan mata terpaku pada layar ponsel. Jarinya sibuk mengetik, lalu berhenti sejenak, lalu mengetik lagi. Di seberang ruangan, Hendra—suaminya—juga tenggelam dalam layar yang sama. Hening. Hanya suara kipas angin tua yang terus berputar pelan, berderit sesekali seperti ingin ikut bicara.

Padahal baru dua tahun mereka menikah. Saat awal-awal, tak pernah satu malam pun berlalu tanpa obrolan hangat. Tapi kini, seakan ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka. Anehnya, tembok itu bernama WhatsApp.

Dina menoleh sekilas. Hendra masih serius menatap HP. Dina pun mengetik pesan.

Dina: "Mas, udah makan malam belum?"

Notifikasi berbunyi di HP Hendra. Ia membuka dan membalas tanpa menoleh.

Hendra: "Udah. Tadi abis maghrib makan nasi goreng. Kamu?"

Dina: "Belum. Lagi malas makan."

Hendra: "Kenapa? Sakit?"

Dina: "Enggak, cuma lagi nggak mood aja."

Tak ada balasan lagi. Hendra kembali tenggelam dalam obrolan lain, entah dengan siapa. Dina menatap layar, berharap ada pesan masuk dari suaminya lagi. Tapi nihil.

Sudah hampir pukul 02.30 dini hari. Lampu kamar sudah mati sejak pukul sebelas, tapi dari arah selimut, terlihat cahaya ponsel menyala terang. Dina masih membuka WhatsApp, melihat status orang, membalas chat dari teman SMA yang baru saja membuat grup reuni.

Di sebelahnya, Hendra juga belum tidur. Ia tertawa kecil sambil menonton video lucu yang dikirim di grup kantor.

“Mas,” bisik Dina pelan.

“Hm?” jawab Hendra tanpa menoleh.

“Kita belum ngobrol dari tadi.”

Hendra diam sejenak. Lalu membalas, “Kan kita barusan ngobrol lewat WA.”

“Tapi itu bukan ngobrol beneran, Mas,” Dina berbalik, menatap wajah suaminya yang kini setengah tenggelam di bawah cahaya layar HP.

Hendra menghela napas. “Besok aja, ya. Aku lagi baca info penting dari grup kantor.”

Dina mengangguk kecil, walau hatinya terasa perih.

Pagi hari. Dina menyiapkan sarapan. Tumis buncis dan telur dadar, makanan favorit Hendra. Ia berharap pagi ini mereka bisa sarapan bersama tanpa gangguan layar.

“Mas, makan dulu, yuk.”

“Bentar. Lagi ada diskusi di grup proyek,” jawab Hendra dari ruang kerja kecilnya.

Dina duduk sendiri di meja makan. Sesendok demi sesendok nasi masuk ke mulut, tanpa rasa. Ia melirik ponselnya yang tergeletak di sebelah piring. Sudah jadi kebiasaan, jika tak ada yang diajak bicara, HP jadi teman.

Tiba-tiba masuk pesan dari Hendra.

Hendra: Maaf belum bisa makan bareng. Nanti aku makan sendiri, ya.

Dina: Iya.

Air mata Dina jatuh tanpa suara.

Hari-hari berikutnya pun berlalu dengan pola yang sama. Mereka berbicara, tapi hanya lewat WhatsApp. Bahkan, jika Dina ingin minta tolong diambilkan air minum pun, ia mengetikkan pesan. Hendra pun menjawab dengan emoji jempol, atau kadang hanya membalas "OK".

Sampai suatu malam, Dina duduk di kamar sendirian. Ia menatap foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Senyum mereka dalam foto itu tampak bahagia dan penuh harapan. Tapi sekarang?

Ia kembali membuka WhatsApp. Mengetik pesan.

Dina: "Mas, kita kenapa ya sekarang?"

Pesan terbaca, tapi belum dibalas.

Dina: "Apa Mas masih sayang sama aku?"

Masih belum ada balasan. Setelah hampir sepuluh menit, barulah Hendra menjawab.

Hendra: "Sayang. Tapi kenapa nanya kayak gitu?"

Dina: "Karena kita lebih banyak ngobrol di WhatsApp daripada secara langsung. Bahkan sekarang pun aku harus mengetik ini."

Hendra membalas setelah beberapa detik.

Hendra: "Maaf, aku nggak sadar. Mungkin kita terlalu sibuk sama HP masing-masing."

Dina: "Kita tinggal serumah, Mas. Tapi rasanya kayak jauh banget."

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, mereka duduk di ruang tamu tanpa HP di tangan. Hendra menyimpan ponselnya di laci, begitu juga Dina.

“Mau ngobrol apa?” tanya Hendra canggung.

Dina tersenyum, “Apa aja, Mas. Asal bukan lewat layar.”

Hendra menatap mata istrinya, seperti menatap kembali cinta yang hampir terlupakan.

“Kamu tahu nggak, waktu pertama kali kita chatting dulu, aku selalu berharap bisa ngobrol langsung kayak gini tiap malam.”

Dina tertawa kecil. “Aku juga. Tapi kenyataannya, setelah menikah, kita malah lebih banyak ngobrol di chat.”

Hendra mengangguk pelan. “Kita terlalu nyaman dengan HP. Mungkin kita lupa, yang ada di depan mata ini lebih penting dari yang di layar.”

Dina menggenggam tangan suaminya. Hangat.

Malam itu, mereka berbicara panjang lebar. Tentang pekerjaan, rencana liburan, bahkan cita-cita kecil yang dulu sempat mereka bahas saat masih pacaran. Tak ada notifikasi yang mengganggu. Tak ada status yang harus dilihat.

Hanya mereka, dan suara hati yang kembali bersuara.

Hari-hari setelah itu mulai berubah. Dina menetapkan satu aturan baru: setelah maghrib, tidak ada yang membuka HP kecuali urusan darurat. Awalnya Hendra keberatan, tapi setelah dijalani, ia merasa lebih tenang. Waktu malam jadi lebih bermakna.

Mereka kembali menonton film bersama, saling bercanda di dapur, bahkan terkadang berbagi cerita sepele yang dulu mereka abaikan karena terlalu sibuk membaca chat orang lain.

Suatu malam, saat hujan rintik-rintik di luar jendela, Dina menyender di bahu suaminya.

“Mas, makasih ya, karena sudah mau berubah.”

Hendra mencium kening istrinya. “Makasih juga sudah ngingetin. Kadang yang paling kita butuhkan bukan teknologi, tapi perhatian dan sentuhan nyata.”

Ponsel mereka masih ada. WhatsApp masih terpasang. Tapi kini, mereka memilih mendahulukan yang nyata, yang ada di depan mata, sebelum semuanya terlambat.

Karena cinta tak seharusnya tergantikan oleh layar. Dan rumah tak akan hangat hanya dengan notifikasi.

Komentar