Mamak, Aku Merindukan Pelukanmu
Mamak, entah dari mana harus aku mulai tulisan ini. Sudah terlalu lama kutahan rindu ini, terlalu lama kulemparkan senyum palsu kepada dunia, padahal di dalam dada, sesak ini tak pernah reda. Malam-malam terasa lebih panjang, karena rindu padamu selalu mengetuk ingatanku, rindu akan pelukanmu yang dulu terasa remeh, kini terasa seperti satu-satunya hal yang bisa menenangkan seluruh kegelisahan dalam hidupku.
Aku masih ingat, Mamak. Dulu aku adalah anak yang begitu sulit diatur. Kata orang, aku anak nakal. Tapi kau tak pernah memanggilku begitu. Meski aku sering membuatmu menangis, kau tetap menyebutku anakmu dengan penuh cinta. Mungkin aku terlalu kecil waktu itu untuk mengerti, bahwa setiap tetesan air matamu adalah bentuk cinta paling dalam, bentuk sayang yang tak bisa kutandingi sampai kapan pun.
Aku sering menolak makan, padahal kau memasaknya dengan sepenuh hati. Kau rela bangun sebelum azan subuh berkumandang, menyiapkan nasi, lauk, dan makanan kesukaanku, hanya untuk aku dorong dengan malas karena lebih memilih bermain atau tidur. Kadang kau harus membujukku, mengancam, bahkan menangis agar aku mau menyuap makanan ke mulutku. Tapi saat itu, aku hanya melihatmu sebagai sosok yang "cerewet", bukan sebagai seorang ibu yang lelah namun tetap memikirkan anaknya.
Kini, ketika aku berdiri sendiri, mengenang semua perlakuanku dulu, air mataku jatuh begitu saja. Tak ada yang menyuruhku menangis, tapi kenangan itu terlalu perih. Mamak, aku menyesal. Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku ingin jadi anak yang manis. Anak yang tahu caranya membalas cinta tanpa harus membuatmu terluka.
Mamak, sekarang aku jauh darimu. Tak setiap hari aku bisa memandang wajahmu yang dulu selalu kulihat setiap pagi. Kini, hanya layar ponsel yang jadi penghubung. Dan meski teknologi ini membuatmu lebih dekat secara visual, tapi jarak emosional yang kurasa makin membentang. Aku ingin sekali menatap langsung matamu, melihat keriput yang semakin banyak di wajahmu, tanda bahwa waktu tak pernah berhenti berjalan. Dan itu juga berarti, waktuku untuk mengabdi kepadamu makin menipis.
Terkadang aku berpikir, apa yang sudah kuberikan padamu? Apa balasan yang telah kupenuhi untuk semua pengorbananmu? Saat kau mulai menua, seharusnya aku ada di sampingmu, memijit punggungmu yang letih, membawakan teh hangat setiap pagi, dan menjadi anak yang kau banggakan. Tapi hidup membawa kita ke jalan masing-masing. Aku harus merantau, mengejar kehidupan, menjalani tanggung jawab, dan menyelesaikan masalah yang datang silih berganti.
Tapi Mamak, tak ada satu haripun berlalu tanpa aku mengingatmu. Saat aku lelah bekerja, yang terlintas pertama di pikiranku adalah pelukanmu. Saat aku jatuh dan merasa tak mampu bangkit, aku ingin sekali mendengar suaramu berkata, “Nak, semua akan baik-baik saja.” Dulu aku sering merasa jengah dengan semua nasihatmu. Tapi kini, aku merasa hidup ini terlalu sunyi tanpa itu.
Aku rindu Mamak. Rindu sentuhan tanganmu yang lembut mengelus kepalaku sambil mengucap doa-doa. Rindu pelukanmu yang bisa menghapus semua takut dan khawatir. Rindu senyummu yang hangat, yang bisa membuat dunia terasa lebih ringan.
Setiap kali aku duduk sendiri di antara malam yang lengang, aku menangis dalam diam. Aku merasa seperti anak kecil yang tersesat, yang kehilangan cahaya penuntunnya. Aku tahu, Mamak selalu mendoakanku. Aku tahu, di setiap sujudmu, namaku tak pernah absen. Tapi aku ingin lebih dari itu. Aku ingin memelukmu, mencium tanganmu, dan berkata dengan lirih, “Maafkan anakmu, Mak. Anakmu yang dulu sering menyusahkanmu.”
Sekarang, ketika aku menghadapi dunia yang tak selalu ramah, aku baru mengerti betapa berharganya nasihat dan doa dari seorang ibu. Dunia ini, Mamak, terlalu keras. Tak seperti pelukanmu yang selalu membuatku merasa aman. Banyak badai yang harus kuterjang sendiri. Dan di setiap terpaan itu, aku berharap bisa pulang. Bukan ke rumah, tapi ke pelukanmu.
Aku sering iri melihat teman-temanku yang masih bisa makan bersama ibunya, berbincang di sore hari sambil menyeruput teh hangat. Aku tak bisa merasakan itu. Bahkan untuk sekadar menyentuh tanganmu saja, aku harus menempuh ratusan kilometer. Rasanya seperti aku menukar kehadiranmu dengan mimpi-mimpi dunia yang tak seindah itu.
Mamak, maafkan aku. Maaf karena tak bisa selalu ada di sampingmu. Maaf karena dulu aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, hingga lupa bahwa kau juga butuh perhatian. Maaf karena aku baru sadar sekarang, saat usiamu sudah tak muda lagi.
Jika saja aku bisa memutar waktu, aku ingin kembali menjadi anak kecil yang manja. Bukan untuk membuatmu repot, tapi untuk berada lebih lama di dekatmu. Aku ingin memelukmu lebih sering, mencium pipimu setiap pagi, dan berkata bahwa aku sangat mencintaimu.
Tapi waktu terus berjalan, dan aku tak bisa menolaknya. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berdoa, agar Allah selalu menjaga Mamak, memberimu kesehatan dan ketenangan. Agar suatu hari nanti, ketika aku bisa pulang, aku masih sempat memelukmu, masih bisa mendengar suaramu yang menenangkan.
Mamak, jika tulisan ini sampai padamu, ketahuilah satu hal: aku merindukanmu, lebih dari yang bisa kuungkapkan dengan kata. Pelukanmu adalah obat paling ampuh untuk segala luka di hatiku. Dan meskipun aku tak selalu ada, cintaku padamu tak pernah berkurang sedikit pun.
Di setiap langkah yang kuambil, namamu ada dalam doaku. Di setiap malam yang kulewati, bayangmu mengisi sepi. Mamak, tunggulah aku pulang. Suatu saat nanti, aku ingin memelukmu lama sekali. Aku ingin menebus semua waktu yang hilang. Aku ingin menangis di pelukanmu, bukan karena sedih, tapi karena akhirnya aku bisa pulang.
Dan jika takdir suatu hari memisahkan kita untuk selamanya sebelum aku sempat memelukmu lagi, maka kumohon... peluklah aku dalam doamu, Mamak. Karena doamu adalah pelukan terindah yang tak pernah pudar oleh jarak dan waktu.
Idi Darusman
Jumat, 23 Mei 2025
Komentar
Posting Komentar