Nulis Itu Healing - Curhat Lewat Cerita Fiksi?
Oleh : Idi Darusman
Di tengah hiruk-pikuk dunia remaja yang penuh tekanan, mulai dari tugas sekolah, ekspektasi orang tua, konflik pertemanan, hingga pencarian jati diri, banyak yang merasa kewalahan dan kesepian. Di sinilah menulis, terutama menulis fiksi, hadir sebagai pelarian yang tidak hanya kreatif, tetapi juga menyembuhkan. Istilah "nulis itu healing" bukan sekadar ungkapan populer di media sosial, tetapi memiliki dasar yang kuat dalam pengalaman emosional dan psikologis banyak orang.
Menulis Sebagai Terapi Psikologis
Konsep menulis sebagai sarana penyembuhan bukanlah hal baru. Dalam psikologi, dikenal istilah expressive writing therapy, yaitu proses menuliskan pengalaman emosional untuk membantu seseorang memahami dan mengelola perasaannya. Penelitian yang dilakukan oleh James W. Pennebaker, seorang psikolog dari University of Texas, menunjukkan bahwa menulis tentang pengalaman emosional dapat memperbaiki kesehatan mental, memperkuat imunitas tubuh, dan membantu seseorang berdamai dengan masa lalunya.
Ketika seseorang menulis fiksi, ia sering kali menyisipkan bagian dari dirinya—pengalaman, ketakutan, harapan, bahkan luka—ke dalam karakter atau alur cerita. Proses ini menjadi cara yang tidak langsung namun sangat dalam untuk mengekspresikan diri. Alih-alih menceritakan kesedihan secara gamblang, penulis bisa mengemasnya dalam bentuk kisah seorang tokoh yang menghadapi konflik serupa. Dengan begitu, menulis menjadi jalan aman dan kreatif untuk “curhat” tanpa harus membuka diri sepenuhnya kepada orang lain.
Fiksi sebagai Media Pelampiasan Emosi
Banyak penulis remaja yang mengaku bahwa cerita-cerita yang mereka tulis di platform seperti Wattpad, blog pribadi, atau bahkan di catatan ponsel, merupakan refleksi dari perasaan yang tidak bisa mereka ungkapkan secara langsung. Dalam sebuah wawancara tidak resmi dengan beberapa penulis muda, ditemukan bahwa mereka menulis tokoh-tokoh dengan masalah keluarga, patah hati, hingga pencarian makna hidup karena merasa tidak memiliki ruang aman untuk bercerita secara nyata.
Dengan menulis fiksi, mereka menciptakan dunia yang bisa mereka kendalikan. Di dunia itu, mereka bisa membuat tokoh yang mewakili rasa sakit mereka berhasil bangkit, menemukan cinta yang sehat, atau mengatasi trauma. Hal ini bukan saja membebaskan emosi yang terpendam, tetapi juga memberi harapan bahwa luka pun bisa disembuhkan, walau hanya dalam cerita.
Curhat Terselubung: Antara Kejujuran dan Imajinasi
Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah menulis fiksi bisa dianggap sebagai bentuk curhat? Jawabannya: ya, meskipun tidak secara eksplisit. Banyak penulis yang menyisipkan kisah pribadi dalam cerita mereka, namun membungkusnya dengan nama tokoh, latar tempat, dan konflik yang berbeda. Hal ini memberikan mereka jarak emosional yang cukup untuk tetap bisa mengungkapkan isi hati tanpa merasa rentan.
Curhat lewat fiksi menjadi cara elegan untuk menyampaikan pesan, bahkan kritik sosial, tanpa harus menunjuk secara langsung. Penulis bisa menyampaikan kegelisahannya terhadap sistem pendidikan, tekanan sosial, atau pengalaman spiritual, tanpa harus menyinggung siapa pun secara nyata. Di sisi lain, pembaca pun bisa merasakan kedekatan emosional yang kuat dengan cerita, karena meskipun fiksi, emosi yang ditulis adalah nyata.
Tantangan dan Batasan
Namun, penting untuk disadari bahwa menulis fiksi sebagai bentuk healing tetap memiliki batas. Tidak semua luka bisa sembuh hanya dengan dituliskan. Ada kalanya, seseorang membutuhkan bantuan profesional, seperti psikolog atau konselor, untuk benar-benar memulihkan diri. Menulis bisa menjadi awal, tetapi bukan satu-satunya jalan.
Selain itu, ada juga risiko ketika penulis terlalu larut dalam cerita. Dalam beberapa kasus, penulis bisa terjebak dalam trauma yang berulang ketika terus-menerus menulis kisah yang sama tanpa proses penyembuhan yang memadai. Oleh karena itu, penting bagi para penulis muda untuk tetap menjaga keseimbangan antara mengekspresikan diri dan menjaga kesehatan mental mereka.
Mendorong Remaja Menulis dengan Tujuan
Melihat potensi besar dari kegiatan menulis fiksi sebagai sarana penyembuhan, sudah seharusnya lingkungan pendidikan dan keluarga mendorong remaja untuk menjadikan menulis sebagai kegiatan positif. Guru bisa memfasilitasi kelas menulis kreatif, orang tua bisa menyediakan ruang dan waktu untuk anak menulis, dan masyarakat bisa memberi apresiasi pada karya-karya fiksi remaja yang menginspirasi.
Menulis juga bisa menjadi alat dakwah dan perubahan sosial. Banyak penulis remaja yang memulai dari cerita cinta remaja, namun perlahan menyisipkan nilai-nilai moral, keimanan, bahkan kritik terhadap fenomena sosial yang mereka resahkan. Cerita menjadi tidak hanya menyenangkan, tapi juga mencerdaskan.
Menulis Adalah Menyembuhkan Diri Sendiri dan Orang Lain
Pada akhirnya, menulis fiksi tidak hanya menyembuhkan penulisnya, tapi juga pembacanya. Banyak remaja yang merasa "ditemani" oleh cerita-cerita yang mereka baca, seolah menemukan teman yang memahami luka mereka. Begitu pula para penulis, yang merasa lebih lega dan tenang setelah menuangkan isi hatinya dalam bentuk narasi.
“Nulis itu healing” bukan sekadar tren sesaat. Ia adalah refleksi dari kebutuhan manusia untuk didengar, dipahami, dan diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri—meskipun hanya lewat kata-kata di atas kertas atau layar.
Bagi para remaja, jangan ragu untuk menulis. Tidak harus sempurna, tidak harus langsung dibaca orang. Tulis saja. Karena bisa jadi, lewat tulisan itulah kita menemukan kembali diri kita yang sempat hilang. Dan barangkali, di antara paragraf-paragraf yang kita susun, ada hati yang akhirnya bisa pulih.
Komentar
Posting Komentar