Dalam ajaran Islam, seorang suami memiliki banyak tanggung jawab yang harus ia tunaikan terhadap istrinya. Tanggung jawab ini bukan hanya sekadar kewajiban lahiriah, tetapi juga tanggung jawab moral dan spiritual. Diantara tanggung jawab suami terhadap istri adalah:
Seorang suami memiliki kewajiban memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Ini mencakup sandang, pangan, papan, serta kebutuhan psikologis seperti kasih sayang dan komunikasi yang baik. Suami harus mampu memenuhi kebutuhan tersebut dengan sepenuh hati, sesuai dengan kemampuan, sehingga istri merasa dicintai dan dihargai.
Dalam menjalankan rumah tangga, suami juga dituntut untuk memuliakan istri dengan cara menghargai martabat dan perasaannya. Suami harus bersikap santun, tidak mempermalukan istri di hadapan orang lain, dan menghindari perkataan atau tindakan yang dapat melukai hati istri.
Selain itu, suami memiliki tanggung jawab untuk mendidik istri dengan baik, terutama dalam hal agama. Ini bisa dilakukan dengan mengajarkan nilai-nilai Islam, mendampingi istri dalam menjalankan ibadah, serta membantu istri memahami ajaran agama agar rumah tangga menjadi sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Suami juga sebagai pelindung, suami harus menjaga istri dari segala keburukan yang dapat mengancam kehormatannya, baik berupa fitnah, gangguan, maupun lingkungan yang tidak baik. Perlindungan ini bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk moral dan psikologis, agar istri merasa aman dalam menjalani kehidupannya.
Memberikan rasa aman secara fisik maupun emosional menjadi kewajiban suami. Rasa aman ini penting agar istri merasa nyaman, tenang, dan terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan atau ketidakadilan yang bisa menimbulkan ketakutan atau kegelisahan.
Dalam memperlakukan istri, suami dituntut untuk selalu bersikap adil. Adil di sini bukan hanya dalam hal materi, tetapi juga dalam pemberian kasih sayang, perhatian, dan waktu. Dengan keadilan, keharmonisan rumah tangga dapat terjaga.
Suami juga diharapkan menjadi teladan yang baik bagi istri dalam segala hal, termasuk dalam ucapan, perilaku, dan ibadah. Keteladanan ini akan memotivasi istri untuk lebih semangat dalam menjalankan ibadah dan memperkuat keimanannya.
Kesabaran dan kemampuan untuk mengayomi istri menjadi hal penting dalam kehidupan rumah tangga. Suami harus mampu mendengarkan keluh kesah istri dengan empati, memberikan dukungan moral, dan membantu istri menghadapi kesulitan, terutama saat ia sedang dalam kondisi emosional.
Mendukung dan membantu istri dalam urusan rumah tangga juga menjadi bagian dari tanggung jawab suami. Dengan adanya kerja sama yang harmonis, suami-istri akan saling menghargai dan mempererat ikatan cinta, menciptakan suasana rumah tangga yang penuh dengan kasih sayang.
Selain semua itu, suami hendaknya tidak lupa untuk selalu mendoakan istri agar selalu dalam lindungan Allah SWT, diberikan kesehatan, keberkahan, dan kebaikan dalam setiap langkah hidupnya. Doa yang tulus akan memperkuat hubungan spiritual suami-istri dan membawa keberkahan bagi rumah tangga mereka.
Setelah menyadari tanggung jawab itu, aku sebagai seorang suami, merasa sangat berat hati. Setiap malam sebelum tidur, aku merenung panjang, membayangkan apakah aku sudah cukup kuat untuk memikul semua ini. Saya takut — takut jika saya salah dalam berbicara, takut jika satu kata saja menyakiti hatinya. Saya takut jika aku tidak mampu mendidik dan membimbingnya dengan baik menuju ridha Allah SWT. Bagaimana jika saya tidak bisa menuntunnya dalam kebaikan, padahal saya adalah pemimpinnya di dunia dan di akhirat?
Saya sering mendengar orang bilang bahwa menjadi suami itu cukup memberi nafkah dan melindungi istri. Tapi, bagi saya, menjadi suami itu jauh lebih dalam. Aku takut tidak bisa membuatnya bahagia, takut jika aku gagal menjadi tempat ia bersandar saat sedih, takut jika saya tak sanggup menenangkan hatinya saat gelisah. Saya takut jika aku tak bisa menjadi imam yang baik di rumah, yang mampu menegakkan shalat dan mengajak istri untuk semakin dekat dengan Allah SWT.
Kadang-kadang saya memilih untuk lebih banyak diam daripada berbicara. Bukan karena saya tidak peduli, tapi karena saya takut kata-kataku tak cukup lembut untuk hatinya. Saya takut kata-kataku justru menusuk perasaannya. Saya lebih memilih menunduk, mendengar, memahami, daripada berkata-kata yang sia-sia. Saya sadar, satu kalimat bisa saja membuatnya menangis, dan saya tak mau itu terjadi.
Saya juga takut pada hari di mana Allah menanyakan tanggung jawabku terhadapnya. Apakah saya sudah menjadi suami yang baik? Apakah aku sudah mampu membahagiakannya? Apakah aku sudah mendidiknya agar menjadi istri yang shalihah? Atau justru aku yang menjadi penyebab keretakan rumah tangga ini? Semua pertanyaan itu terus mengusik batinku.
Saya tahu, aku bukan suami yang sempurna. Tapi setidaknya saya ingin berusaha sebaik mungkin. Saya ingin memastikan bahwa nafkah lahir dan batinnya terpenuhi. Saya ingin memastikan bahwa ia merasa dicintai, dihargai, dan dilindungi. Saya ingin memastikan bahwa ia merasa aman dalam pelukanku. Saya ingin membimbingnya dengan sabar agar kami bisa sama-sama berjalan di jalan Allah.
Ya, saya memang seorang suami penakut. Tapi ketakutan ini bukan karena kelemahan semata, melainkan karena aku mencintainya begitu dalam. Saya takut mengecewakannya. Saya takut kehilangan kepercayaannya. Saya takut tak bisa menepati janji yang telah kuikrarkan di hadapan Allah saat aku menikahinya: untuk membimbing, mencintai, dan menjaga dirinya dengan segenap kemampuanku.
Aku ingin menjadi suami yang bisa menuntunnya menuju surga. Saya ingin menjadi suami yang bisa menghapus air matanya dengan kelembutan. Saya ingin menjadi suami yang membuatnya tersenyum di dunia dan di akhirat. Sebab saya tahu, kelak di hadapan Allah, saya akan ditanya tentang dia — tentang amanah yang begitu besar ini. Dan saya hanya ingin bisa menjawab, “Ya Allah, aku telah berusaha sebaik mungkin.”
Untukmu, istriku, maafkan saya yang
terkadang lebih banyak diam daripada bicara. Maafkan saya yang sering terlihat
takut, ragu, dan khawatir. Itu semua karena saya ingin menjadi imam yang pantas
untukmu. Karena saya ingin mencintaimu dengan cara yang diridhai oleh Allah.
Semoga Allah senantiasa membimbingku agar aku tak lagi menjadi suami yang hanya
penakut, tetapi menjadi suami yang bertanggung jawab, penyayang, dan bisa
menjadi imam bagimu hingga ke surga-Nya. Aamiin.
Kebayoran Lama, 30 Mei 2025
Komentar
Posting Komentar