MAKIN TUA


Pak Wibowo adalah seorang guru senior di sebuah sekolah swasata di Jakarta Selatan yang terkenal disiplin dan penuh dedikasi. Namun, belakangan ini, usia mulai menggerogoti ketajaman memorinya. Dulu, dia terkenal paling cepat mengingat nama murid, bahkan bisa mengingat kesukaan murid-muridnya. Tapi sekarang, jangankan muridnya yang dulu, nama murid sekarang saja kadang-kadang sudah seperti huruf sandi Morse—hilang satu, muncul satu, hilang semua.

Suatu malam, Pak Wibowo merasa tubuhnya kurang enak. Badannya panas dingin, kepalanya seperti habis digoyang blender. “Wah, ini pasti gejala masuk angin generasi tua,” gumamnya sambil meraba-raba perut yang tiba-tiba mules. Tapi sebagai orang yang taat beragama, Pak Wibowo tak mau melewatkan shalat Subuh. “Biar badan remuk redam, shalat harus tetap jalan,” tekadnya mantap.

Subuh itu, Pak Wibowo bangkit perlahan dari kasur. Langkahnya kayak robot rusak, kaki kanan maju, kaki kiri lupa nyusul. Sampai-sampai sandal jepitnya pun protes, “Tolong, Pak, yang satu ketinggalan!” Dengan berdiri agak gontai, Pak Wibowo menuntaskan shalat Subuh sambil menahan rasa pusing yang bikin sajadah hampir terbang.

Selesai shalat, Pak Wibowo segera menuju meja makan. Ia berpikir, “Sarapan dulu, biar badan lebih bugar. Katanya sih, kalau sarapan itu bisa bikin otak encer.” Ia membuat teh manis, menyendok nasi, dan ayam kecap. “Lumayan, buat pemanasan,” katanya sambil tertawa sendiri.

Usai sarapan, Pak Wibowo merasa sedikit lebih baik. Ia pun bersiap-siap berangkat ke sekolah. Dengan cekatan, ia mengambil tas kecil berisi buku-buku catatan, memakai sepatu (walau sempat salah pakai sepatu kanan di kaki kiri), lalu menggenggam kunci motor kesayangannya—Honda Vario yang selalu setia menemaninya dari zaman susah hingga zaman tua.

Sebelum berangkat, ia sempat membaca takbir beberapa kali. Maklum, hari itu masih termasuk hari tasyrik. “Allahu Akbar,” lirihnya sambil menyalakan motor. Suara motor Varionya seperti suara gergaji tumpul, tapi Pak Wibowo tetap semangat.

Perjalanan menuju sekolah diiringi rasa haru yang tak terkatakan. Mungkin karena badan masih kurang fit, atau mungkin karena ingatan yang sudah mulai karatan, ia hampir saja nyasar ke Tanah Kusir. Untung tukang parkir sempat menegur, “Pak, sekolah bukan ke sini!”

Setelah tiba di sekolah, Pak Wibowo langsung menaruh tasnya di meja, membuka laptop kesayangannya, dan siap memulai hari. Tapi… alangkah kagetnya! Huruf-huruf di laptopnya seperti cacing kepanasan: semuanya menari-nari tak jelas. “Ya Allah… font apa ini? Kok kayak sandi rahasia alien?”

Ia mencoba membuka file laporan penting, tapi yang muncul malah garis-garis zigzag tak beraturan. Data penting? Hilang. Persiapan pelatihan? Kosong. Pak Wibowo memutar otak keras—yang kini kayak mesin tua perlu diservis. “Kenapa ini, ya? Virus? Kena ransomware? Atau laptopnya kesel sama saya?” pikirnya sambil mengusap keringat.

Sampai akhirnya, Pak Wibowo mengusap mukanya. Tiba-tiba dia sadar—kacamata! Ia lupa pakai kacamata. Itulah biang kerok semua masalah hari ini. Tanpa kacamata, semua tulisan berubah jadi hiasan dinding abstrak.

Dengan perasaan campur aduk antara geli dan jengkel, Pak Wibowo tertawa sendiri. “Ya Allah… makin tua makin pelupa,” katanya sambil mengelus janggut tipisnya yang mulai memutih.

Mau tak mau, Pak Wibowo harus balik lagi ke rumah. “Ya Allah, seumur-umur saya baru sekali ini motor Vario saya bisa mondar-mandir dalam 30 menit cuma buat ambil kacamata,” gumamnya sambil kembali membaca takbir, “Allahu Akbar!”

Sepanjang perjalanan pulang, Pak Wibowo menertawakan kebodohannya sendiri. “Beginilah nasib makin tua. Daya ingat menipis, tulisan jadi cacing kepanasan, sepatu bisa kebalik, kacamata bisa ketinggalan. Besok-besok jangan-jangan saya ketinggalan otak!”

Tiba di rumah, kacamata kesayangannya sedang duduk manis di meja makan. Seolah berkata, “Pak, lain kali ajak saya juga, ya.”

Akhirnya, Pak Wibowo kembali ke sekolah dengan kacamata di mata, laptop yang sudah jelas tulisannya, dan senyum lebar di wajahnya. Di hatinya dia bersyukur, “Ya Allah, walau makin tua, aku masih bisa ketawa.”

Dan begitulah kisah Pak Wibowo, sang guru yang makin tua, makin pelupa, tapi tetap setia mengajar dengan hati yang penuh tawa.

Komentar