Namanya Arman. Usianya belum genap empat puluh tahun, tapi kehidupan yang ia jalani sudah lebih dari cukup untuk disebut mapan. Ia tinggal di sebuah rumah milik sendiri di kawasan yang cukup strategis, mobil Nissan hitam dan motor HONDA terparkir rapi di garasi. Usaha kuliner yang dirintis sejak enam tahun lalu berkembang pesat, hingga kini memiliki dua cabang yang dikelola oleh beberapa karyawan kepercayaannya.
Banyak tetangganya yang memandang Arman sebagai sosok inspiratif. Rajin, rendah hati, dan pandai bersyukur. Tak jarang pula ia membantu tetangga yang kesulitan, diam-diam tanpa mengumbar. Istrinya, Lestari, adalah perempuan sederhana yang selalu mendampingi Arman sejak masa-masa mereka hidup pas-pasan di rumah kontrakan sempit di pinggiran kota. Mereka dikaruniai dua anak yang sehat dan cerdas.
Namun hidup, seperti langit, tak selamanya cerah. Suatu sore, setelah menyelesaikan transaksi grosir dengan salah satu pemasok bahan makanan, Arman merasa lelah dan memutuskan untuk pulang lebih awal. Di tengah jalan, ia singgah ke sebuah minimarket untuk membeli camilan. Saat keluar dari minimarket, ia dihampiri seorang pria berpakaian rapi, mengaku sebagai petugas bank. Wajahnya bersahabat, kata-katanya lembut, dan senyumnya menenangkan.
Tak lama setelah itu, ingatan Arman kabur. Seperti terpotong. Yang ia tahu, malamnya ia duduk di ruang tamu, memandangi layar ponselnya dengan mata membelalak. Tangannya gemetar, wajahnya pucat seperti mayat. Di layar itu, tercatat serangkaian transaksi yang baru saja ia lakukan. Transfer bertubi-tubi ke beberapa rekening bank yang tidak dikenalnya. Nominalnya bukan jutaan, tapi ratusan juta rupiah. Hampir 600 juta lenyap dari beberapa rekening bisnis dan tabungan pribadinya.
"Ta... Ta... Ri, ini... gimana bisa...?" Arman nyaris tak bisa bicara ketika menunjukkan mutasi rekeningnya kepada istrinya.
Lestari terkejut. Wajahnya seketika berubah. Tapi ia tak menangis. Ia hanya menatap suaminya dalam-dalam, lalu menarik tangannya, menggenggam erat.
"Sabar, Mas. Kita cari tahu dulu. Tenang, ya... Tenang."
Namun harapan itu sirna cepat. Keesokan harinya, laporan ke bank tidak membuahkan hasil. Rekening-rekening tujuan transfer itu sudah dibekukan, tak lagi aktif. Kepolisian mencatat kejadian itu sebagai tindak penipuan yang menggunakan metode hipnotis. Tapi kecil kemungkinan dana itu kembali. Sangat kecil.
Arman terdiam. Dunia seolah berhenti berputar. Malam-malamnya diisi tangis dan kecemasan. Ia berjalan mondar-mandir di kamar, bahkan tak jarang melamun di depan pintu rumah berjam-jam, menatap kosong ke jalanan. Nafsu makannya hilang, senyumnya tak lagi tampak. Orang-orang di rumah pun mulai merasa takut, karena wajah Arman tak lagi bersinar seperti biasanya.
"Kenapa bisa aku sebodoh ini, Ta...? Kenapa? Aku nggak nyadar sama sekali..."
Lestari mendekat. Ia usap punggung suaminya, berusaha menenangkan. Tapi setiap pelukan itu hanya dibalas diam. Hati Arman seakan terkunci rapat.
Tiga hari berlalu, lima hari, seminggu. Arman tak pergi ke warung. Ia serahkan semuanya kepada karyawannya. Beberapa mitra bisnis mulai bertanya-tanya, namun ia tak menjawab. Setiap malam, ia hanya termenung, menangis, dan mengutuki dirinya sendiri.
"Kita masih punya Allah, Mas..." ucap Lestari suatu malam ketika suaminya tampak semakin kehilangan arah. "Jangan hancur kayak gini. Allah pasti tahu kita sedang diuji. Mas pernah bilang ke aku, rezeki itu titipan. Kalau memang itu bukan milik kita, ya pasti akan diambil."
Arman menangis di pelukan istrinya malam itu. Untuk pertama kalinya setelah kejadian itu, ia menangis bukan karena kehilangan, tapi karena terharu. Ia lupa bahwa ia punya seseorang yang tak pernah meninggalkannya meski seluruh hartanya lenyap.
Malam-malam berikutnya, Arman mulai bangun. Diam-diam ia mengambil air wudhu. Ia gelar sajadah di kamar kecil sebelah kamar tidur. Ia shalat, ia menangis, ia mengangkat tangan tinggi-tinggi, memohon kepada Allah agar diberikan ketenangan.
"Ya Allah... Engkau Maha Tahu... aku tak punya siapa-siapa selain Engkau... Berikan aku sabar... Jangan biarkan aku gila..."
Setiap malam, tanpa pernah absen, Arman menunaikan shalat tahajud. Ia terus berdoa dan berdzikir. Ia merenungi ayat-ayat yang sering ia baca sambil lalu. Kini, setiap kata bagai menampar dirinya dengan lembut, mengingatkan bahwa hidup ini tak lebih dari titipan yang akan kembali pada pemilik sejati.
Arman tak lagi bicara soal uang. Ia mulai tersenyum lagi, meski masih ada sisa luka di matanya. Ia kembali ke warung, menyapa pelanggan, dan memotivasi karyawannya. Perlahan, orang-orang menyadari bahwa Arman memang kehilangan harta, tapi ia tidak kehilangan jiwanya. Ia tak gila. Justru ia semakin waras, semakin bijak, dan semakin dekat kepada Allah.
"Aku gagal gila, Ta... tahu nggak kenapa? Karena kamu selalu ingetin aku tentang Allah," ucap Arman suatu pagi sambil menyeruput kopi buatan istrinya.
Lestari tertawa kecil. "Gagal gila karena tahajud, ya?"
Arman mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Aku sadar, kalau bukan karena tahajud, mungkin aku sudah benar-benar kehilangan akal. Tapi sekarang, aku justru bersyukur. Allah ambil hartaku, tapi Dia berikan ketenangan yang nggak bisa dibeli dengan uang."
Waktu berjalan. Arman dan Lestari hidup dengan lebih sederhana. Usaha kuliner tetap berjalan, meski lebih pelan dari sebelumnya. Mereka tak lagi mengejar angka, tapi lebih pada makna. Anak-anak tumbuh dengan kebahagiaan yang tak bergantung pada barang. Dan setiap malam, di sepertiga malam yang sunyi, sajadah itu masih basah oleh air mata Arman yang tak henti bersyukur.
Hidupnya bukan tentang harta lagi. Tapi tentang ketenangan. Tentang iman. Dan tentang bagaimana ia berhasil gagal—gagal menjadi gila, karena tahajud menyelamatkan akalnya.
--- TAMAT ---
Komentar
Posting Komentar