Maaf, Terpaksa Aku Bandingkan


Istriku…

Dua puluh tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk sebuah perjalanan pernikahan. Ada banyak kisah yang telah tertulis, banyak air mata yang tertumpah, banyak senyum yang dibagikan, dan banyak sekali pengorbanan yang mungkin tak pernah diucapkan, tapi nyata terasa. Dan di balik semua itu, ada satu sosok yang tetap setia, tetap berdiri di sampingku, bahkan ketika aku goyah—dialah istriku.

Usia pernikahan kami memang sudah tidak muda lagi. Kami tidak lagi saling bertanya, “Kamu suka warna apa?” atau “Kalau makan, kamu paling senang apa?” Karena semua itu sudah kutahu. Aku tahu apa yang ia suka, apa yang membuatnya kesal, bahkan aku bisa menebak nada suaranya hanya dari caranya membuka pintu. Sifat-sifatnya tak lagi jadi teka-teki. Ia bukan lagi misteri bagiku—ia adalah rumah. Nyaman, teduh, dan tak tergantikan.

Namun, izinkan aku jujur kali ini. Izinkan aku berkata sesuatu yang barangkali terdengar tak adil.
Tapi percayalah, ini justru akan membuatmu mengerti betapa aku mengagumimu.

 

Istriku…

Aku bukan lelaki yang suka mencampuri urusan orang lain. Tapi, dalam pergaulan, sering kali para suami curhat tentang rumah tangga mereka. Tentang istri yang mudah tersinggung, yang ketika dimarahi malah membalas dengan kata-kata tajam. Tentang istri yang tak bisa memasak, hingga tiap ingin makan enak harus mengandalkan GoFood. Tentang istri yang tak pernah merawat diri, tak pernah peduli lagi pada tubuhnya, seolah lupa bahwa di rumah ada suami yang juga ingin merasa dihargai.

Aku pun melihat banyak perempuan di luar sana. Berjalan dengan gaya bebas, memakai pakaian seadanya, atau bahkan terlalu berlebihan. Bicara dengan suara keras di ruang publik, atau menggoda lawan jenis meski tahu statusnya sudah menikah. Aku menyaksikan banyak sikap dan perilaku yang membuatku berpikir: "Syukurlah, istriku bukan seperti itu."

Maaf, aku tahu membandingkan bukan hal yang baik. Tapi siapa yang bisa menghindarinya ketika kenyataan menunjukkan bahwa istriku—engkau, wahai istriku—adalah perempuan yang Istimewa.

 

Istriku…

Selama dua puluh tahun ini, aku sering kali meledak marah. Kadang karena urusan kantor, kadang karena capek, atau mungkin hanya karena suasana hati yang tidak menentu. Tapi kau tak pernah membalas dengan emosi. Tidak sekalipun kau mengangkat suara. Bahkan ketika aku keras, kau tetap lembut. Ketika aku menyakitimu dengan kata-kata, kau memilih diam, menahan luka, dan menatapku dengan mata penuh kasih.

 

Kau tahu kenapa aku masih tetap jatuh cinta padamu?
Karena kau tidak pernah membuat amarahku makin membara.
Kau tahu kapan harus diam, kapan harus bicara. Kau seperti air yang memadamkan api. Seperti embun di pagi hari, yang menyejukkan jiwa yang gersang.

 

Ada banyak perempuan yang aku lihat, yang bisa bicara lantang di depan suaminya, membantah, melawan, bahkan mempermalukan pasangannya di depan umum. Tapi engkau… kau tahu caranya menjaga harga diriku, bahkan ketika aku tak pantas dihargai.

 

Tidak banyak orang tahu bahwa kemewahan sebenarnya bukan berada di restoran bintang lima. Kemewahan adalah ketika aku pulang kerja, lelah, lapar, dan kau sudah menyiapkan makanan hangat dengan rasa yang sulit ditandingi.

Aku sering mendengar keluhan dari teman-temanku,
"Istriku nggak bisa masak."
"Kalau mau makan enak, ya kita harus keluar rumah."
"Aku sudah bosan GoFood tiap hari."
"Masakan istriku? Cuma mie rebus."

Dan aku hanya bisa tersenyum. Bukan karena mengejek mereka, tapi karena dalam hatiku berkata, “Betapa beruntungnya aku.”

Istriku, engkau tak hanya pandai memasak. Tapi kau juga meramu rasa dengan cinta. Setiap sayur bening buatanmu, setiap samba khusus, setiap tumis kangkung, bahkan nasi goreng sederhana buatanmu—semuanya membuatku ingin segera pulang ke rumah.

 

Masakanmu tak hanya mengenyangkan perut, tapi juga menentramkan hati. Kau tahu kesukaanku, tahu pantanganku. Bahkan ketika aku sedang tak enak badan, kau bisa menyajikan makanan yang membuatku cepat pulih. Kau tidak hanya sekadar memasak, kau menyembuhkan dengan masakanmu.

 

Aku tahu usiamu terus bertambah. Tapi kau tetap merawat dirimu. Kau rutin membersihkan wajahmu, memakai rajin ke dokter, bukan untuk tampil di hadapan orang lain, tapi untukku. Kau tidak melakukannya demi pujian dari orang luar, tapi agar aku—suamimu—senang melihatmu.

 

Beberapa teman berkata, “Istriku sudah nggak peduli lagi sama penampilan.”
Ada juga yang bilang, “Dulu cantik, sekarang cuek. Dandan pun males.”
Tapi aku bersyukur, kau tidak seperti itu.

 

Engkau tetap menjaga tubuhmu, menjaga senyummu, menjaga harum tubuhmu. Kau tak pernah lalai menjaga kebersihan dan penampilan, bukan untuk pamer, tapi agar aku tahu bahwa kau masih ingin terlihat indah di mataku. Dan sungguh, aku sangat menghargainya.

 

Banyak perempuan seumurmu yang sudah lelah merawat diri. Tapi engkau… engkau masih menanam bunga di hatiku, dengan caramu tetap cantik di mataku.

 

Istriku…

Aku ingin kau tahu bahwa selama ini, aku bukan tidak melihat semua perjuanganmu.
Aku hanya belum pandai mengucapkannya.

Aku mencintaimu…
Karena kau sabar menghadapi kekuranganku.
Karena kau tetap setia, meski aku sering egois.
Karena kau tetap mencintaiku dengan cara yang sederhana, tapi dalam.

Aku bersyukur pada Allah karena dipertemukan denganmu.
Jika hidup adalah perjalanan panjang, maka engkaulah pelita yang menerangi jalanku.
Jika hidup adalah perahu yang mengarungi lautan, maka engkaulah dayung yang tak pernah lelah mengayuh bersamaku.

Istriku…
Aku tidak butuh perempuan lain.
Aku sudah memiliki dunia, ketika aku memilikimu.

Kau adalah tempatku bersandar.
Kau adalah alasan aku ingin pulang.
Kau adalah doa yang terkabul dari langit yang paling tinggi.

 

Dua puluh tahun bukan akhir dari cerita kita. Justru ini adalah awal dari babak baru. Aku tahu nanti kita akan lebih sering duduk bersama, menikmati senja, menceritakan masa lalu, dan tertawa bersama mengingat hal-hal lucu yang pernah kita alami.

Aku ingin tetap menua bersamamu.
Aku ingin tetap bangun setiap pagi dan melihatmu di sebelahku.
Aku ingin kita tetap berjalan beriringan, bahkan ketika rambut kita telah memutih dan langkah kita tertatih.

Dan sekali lagi, maafkan aku…
Terpaksa aku membandingkan.
Karena dari perbandingan itulah aku semakin yakin, Tak ada yang sepertimu. Tak ada yang bisa menggantikanmu.

Terima kasih, istriku… untuk segalanya.
Untuk sabar yang kau tanam, cinta yang kau jaga, dan setia yang tak pernah goyah.
Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan atas usia pernikahan kita, dan menjadikan kita pasangan yang saling mencintai hingga ke surga.

 

Idi Darusman
Kebayoran Lama, 13 April 2025

 

Komentar