Damar menatap langit dari balik jendela rumah mungil mereka. Matahari pagi perlahan menyemburatkan sinarnya di sela pepohonan, menyinari jalanan tanah yang mulai mengering setelah semalam diguyur hujan. Rumah mereka terletak di pinggiran kota, di sebuah perkampungan sederhana yang berdiri di antara ladang dan tambal ban pinggir jalan. Di sanalah ayahnya bekerja setiap hari, menambal ban kendaraan yang bocor, menambal kehidupan mereka yang sederhana.
"Dam, bangun nak, kamu bisa telat sekolah," panggil suara serak dari dapur.
Damar mengangguk malas. Ia tahu, ayahnya pasti sudah menyiapkan sarapan. Seperti biasa, nasi goreng sederhana dengan telur dadar setengah matang. Tak banyak yang bisa dihidangkan ayahnya, tapi selalu cukup untuk mengganjal perut.
"Iya, Yah... sebentar lagi."
Usai shalat dan bersiap, Damar keluar dari kamar. Ayahnya sudah duduk di lantai, mengenakan kaus lusuh dan celana panjang belel. Wajahnya penuh keriput, namun senyum hangat tak pernah lepas.
"Sarapan dulu, Nak. Nanti perutmu kosong di sekolah."
Damar mengangguk dan duduk. Ia tak berkata banyak. Dalam hatinya, ia menyayangi ayahnya. Tapi di sekolah, semua berubah.
Di sekolah, Damar dikenal sebagai siswa yang pintar. Tapi akhir-akhir ini, semangatnya mulai menurun. Ia lebih banyak diam. Apalagi setelah suatu hari temannya, Reza, melihat ayah Damar sedang menambal ban di pinggir jalan.
"Eh Dam, itu beneran bapak lo ya yang tukang tambal ban deket warung itu?" tanya Reza sambil terkekeh.
Damar terdiam. "Bukan. Itu... paman jauh," bohongnya.
Tawa teman-temannya menggema. Sejak saat itu, Damar sering merasa malu. Ia mulai menyembunyikan jati diri ayahnya. Ia bahkan pernah bilang pada guru BK bahwa ayahnya bekerja di bengkel besar di kota.
Hari-hari berlalu. Damar makin menjauh dari ayahnya. Ia sering pulang larut, pura-pura sibuk belajar kelompok, padahal hanya duduk di taman sambil melamun. Ayahnya tahu, tapi tak pernah memaksa.
"Ayah ngerti, Dam. Kamu mungkin malu punya ayah kayak Ayah. Tapi Ayah cuma ingin kamu bahagia," ucap ayahnya suatu malam.
Damar hanya menjawab dengan diam. Ia tidak tahu harus bilang apa.
Ujian nasional makin dekat. Damar butuh sepatu baru. Sepatu lamanya sudah berlubang di bagian sol. Tapi ia tak berani meminta.
Beberapa hari kemudian, saat ia pulang larut, rumah tampak sepi. Lampu dapur masih menyala. Damar masuk pelan-pelan dan menemukan ayahnya tertidur di dekat tungku dapur. Badannya basah kuyup. Kakinya lecet-lecet. Di sampingnya, sepasang sepatu baru—meskipun bukan merek ternama—terbungkus rapi dalam kantong plastik.
Damar menatap lekat-lekat wajah lelah ayahnya. Dadanya terasa sesak.
"Ya Allah, Ayah... sampai segitunya..."
Malam itu, untuk pertama kalinya, Damar menangis diam-diam.
Keesokan harinya, Damar pergi ke warung dekat rumah. Di sana, Pak Umar, si pemilik warung, menyapanya.
"Hebat ya ayah kamu, Dam. Kemarin malam bantuin pengendara yang bannya bocor, padahal udah ujan-ujanan. Dan dia nggak mau dibayar sepeser pun. Katanya, 'Saya juga pernah dibantu orang lain. Ini gantinya'."
Damar terpaku. Ia mulai sadar. Ayahnya bukan sekadar tukang tambal ban. Ia seorang lelaki mulia yang diam-diam membantu banyak orang tanpa mengharapkan imbalan.
Hari-hari berikutnya, Damar berubah. Ia lebih rajin belajar. Ia juga mulai membantu ayahnya membersihkan rumah. Ia tak lagi malu menyapa ayahnya di depan teman-temannya.
"Dam, yuk kita ke sekolah bareng," kata ayahnya suatu pagi sambil mendorong sepedanya.
"Boleh, Yah. Aku yang boncengin ya, Ayah istirahat aja," jawab Damar sambil tersenyum.
Ujian nasional pun tiba. Damar mengerjakan dengan tenang dan percaya diri. Bulan berikutnya, pengumuman pun keluar. Damar menjadi siswa dengan nilai tertinggi se-kecamatan dan mendapat beasiswa ke universitas negeri ternama.
Di hari perpisahan sekolah, Damar diminta menyampaikan pidato.
Dengan suara bergetar, ia berkata:
"Hari ini, saya berdiri di sini bukan karena kepintaran saya. Tapi karena doa dan perjuangan seorang ayah. Ayah saya bukan pegawai kantoran. Ia tukang tambal ban. Tapi dari tangannya, saya belajar arti kerja keras. Dari peluhnya, saya belajar arti cinta. Dialah pahlawan saya, walau tak pernah mendapat medali."
Air mata para guru dan orang tua murid tak bisa ditahan. Sang ayah, yang berdiri di pojok ruangan, hanya menunduk dengan mata berkaca-kaca.
Beberapa tahun kemudian, Damar berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cum laude. Di hari wisuda, ia berdiri di podium dengan toga dan medali kehormatan di dadanya. Di antara ratusan tamu, ia melihat sosok tua yang duduk paling belakang—ayahnya.
Setelah acara selesai, Damar menghampiri ayahnya.
"Ayah... sini sebentar."
Di depan banyak orang, Damar membuka medali dari lehernya dan mengalungkannya ke leher sang ayah.
"Ini medali untuk Ayah. Medali yang selama ini harusnya Ayah dapat. Terima kasih sudah menjadi pahlawan dalam hidupku."
Ayahnya hanya tersenyum. Tapi senyum itu tak bisa menyembunyikan air mata yang mengalir di pipinya.
Kini, Damar telah menjadi seorang guru. Ia mengajar di sekolah pinggiran kota, tempat anak-anak dari keluarga sederhana menimba ilmu.
Di depan kelas, ia sering berdiri dengan tegap, menatap mata para muridnya satu per satu, lalu berkata dengan suara yang penuh keyakinan:
"Anak-anak, kalau kalian merasa hidup kalian berat, penuh keterbatasan, atau seolah tak ada jalan keluar, jangan pernah menyerah. Dulu, saya bukan berasal dari keluarga berada. Saya hanya anak dari seorang tukang tambal ban yang sederhana. Tapi dari ayah saya, saya belajar arti semangat, keteguhan, dan cinta yang tak mengenal pamrih. Saya tidak pernah berhenti bermimpi, walau hidup kami penuh keterbatasan. Karena saya tahu, di rumah ada seorang pahlawan yang diam-diam memperjuangkan masa depan saya. Beliau mungkin tidak memiliki medali atau gelar, tapi jasanya abadi, tertanam dalam setiap langkah hidup saya hingga hari ini."
Dan setiap kali ia menulis nama di papan tulis, Damar selalu menuliskannya lengkap:
Damar Prasetya, putra dari Supardi, tukang tambal ban yang luar biasa.
Jakarta, 17 Agustus 2025
Penulis
Idi Darusman
Komentar
Posting Komentar